Suka menonton
film, tidak bias sekedar suka. Sebab, preferensi terhadap film akan menempatkan penontonnya pada status sosial tertentu. Nah, bagaimana jika film India? Hati-hati!
Bisa beresiko dianggap kelas rendahan.
Mahfud Ikhwan menampik anggapan rendahan karena menonton film India tersebut lewat buku ‘Aku dan Film India
Melawan Dunia’. Film
India menurut penulis asal Lamongan itu justru memiliki kualitas –tidak hanya
videografi yang oke, tapi juga tema cerita yang sangat baik.
Mahfud memaparkan khas fanatisme seorang penggemar. Seperti fanatisme supporter sepakbola terhadap klub kesayangannya.
Melalui pemaparan yang lengkap dan detil, penulis novel Kambing dan Hujan
tersebut bahkan mengkafirkan mereka
yang menyebut diri sebagai orang yang gila film tapi menutup mata akan indahnya film India. Siapapun boleh mengabaikan atau bahkan membenci
film India, entah karena alasan absurd yang disebut “selera”
atau melindungi diri dari label
cita rasa rendah yang dilekatkan pada film India
(hal 93). Faktanya, banyak film India berkualitas yang
(dulu) tidak banyak beredar di layar kaca.
Tentu keindahan
film India tidak sekedar gemulai tarian dengan warna-warninya atau tubuh molek yang
membuat mata tidak berkedip.
Lebih dari itu, Mahfud memblejeti
film India sebagai film yang sangat berani,
peka, penuh kritik sosial hingga kritik idiologi. Bahkan
film India begitu berani dan gamblang dalam menyertakan ideologi tertentu
(seperti Komunis, misalnya).
Salah satu filmnya adalah The Legend of Baghat Singh (2002), bercerita tentang
Bhagat Singh, seorang pemuda Sikh komunis-anarkis yang memimpin jalan kekerasan.
Yang menjadi menarik,
Bhagat Singh di film digambarkan membaca
Lenin sesaat sebelum digantung (hlm 2). Aroma-aroma paham kiri juga dimainkan oleh Sutradara Aparna Sen yang iseng
menyisipkan teriakan massa “Kaum buruh sedunia bersatulah!” dalam film The Japanese Wife (2010). Juga, film
komedi Matru Ki Bijlee Ka Mandola (2013)
memasukkan aroma Maoisme. Film India dalam penelusuran Mahfud banyak diwarnai
idiologi “palu arit” tersebut. Sangat
mudah disimpulkan bahwa anasir-anasir komunisme bukan saja ada, bukan semata
mewarnai, melainkan menjadi warna tersendiri dan cukup mencolok dalam industri
film India (hlm 22).
Film India yang tak kalah menarik adalah Gandhi, My
Father. Film garapan Anil
Kapoor tersebut menyodorkan sisi lain Gandhi. Gandhi yang bagi masyarakat India
bahkan dunia adalah seorang dewa, justru menjadi seorang yang gagal dalam
mendidik anaknya, Harilal Gandhi. Anak Ghandi tersebut melawan bapaknya dengan
mabuk-mabukan, meninggalkan istrinya, berhutang di warung-warung, hingga
berganti-ganti agama. Menggunakan sudut pandang Harilal, film tersebut berhasil
memberikan kesimpulan: “Gandhi berhasil menjadi bapak bagi seluruh umat
manusia, tapi dia gagal menjadi bapak bagi anak sulungnya sendiri” (hal 33).
Mahfud mengulas Film India tidak
hanya sekedar alur dan cerita film yang mengharu-biru dan penuh dongeng cinta ala Sakhrukh Khan dalam film Kuch-Kuch Hota Hai. Lebih dari itu,
hampir di setiap ulasan bab, ada komparasi dengan film Indonesia yang kalah
berani dalam mengangkat tema cerita. Film yang menjadi cerminan masyarakatat
bisa menjadi media kritik, tanpa meninggalkan entertainingnya. Film India penuh kritik, propaganda, bahkan
agitasi.
Dalam ulasan komparatif, film
Laskar Pelangi ataupun Denias dinilai terlalu lurus,
tidak senyata problematika yang pernah disinggung oleh
Paulo Faire atau Ivan Illich tentang pendidikan.
Sedangkan 3
idiots dinilai lebih berani menggambarkan kritik dunia pendidikan. Dunia pendidikan secara sistemik seringkali hanya mendorong rakyat untuk
meraih pendidikan, namun tidak mengkritisi bagaimana kondisi
sosial-ekonomi-politik yang melingkupinya.
Totalitas karya ditemukan dalam film Salaam Bombay! Film yang mengisahkan anak-anak miskin kota yang
tiada ada tanding. Tragis, satir, berdarah-darah. Sehingga, film-film yang
muncul setelahnya merupakan film yang tidak jauh dari melihat, mengadaptasi dan
tentu saja tidak bisa mengungguli ketotalitasan cerita dari Salaam Bombay!
Mahfud mencatat: saya beruntung telat
menonton Salaam Bombay! – 20 tahun setelah rilisnya. Sebab, andai saya
jauh-jauh hari telah menontonnya, tentu Slumdog Millionaire-nya Danny Boyle
akan tampak hanya seperti rangkaian hura-hura, daun di atas Bantal-nya Garin
yang liris terlihat layaknya adaptasi semata. Sekali lagi, beruntung sekali
Salaam Bombay! baru saya tonton. Sebab, kalau tidak, film Mira Nair lainnya
hanya akan jadi semacam catatan kaki. The Perez Family (1995), Kama Sutra: A
tale of Love (1996), Vanity Fair (2004), The Namesake (2006) tak akan lebih
dari deretan filmografinya saja (hlm 89).
Satu lagi, film India pasti tidak lepas dari pohon-pohon,
tiang lampu, taman kemudian penari atau aktris-aktornya memutarinya. Buku ini
merunut betapa semua simbol yang terkesan remeh tersebut tidak terlepas dari
idiologi yang menyertainya. Yang
idiologis tidak pernah benar-benar bisa disingkirkan (hlm 27). Pohon,
lampu, dan taman menjadi simbol karakter eskapisme, melankolis dan materialis.
Sebuah karakter yang muncul dari pergulatan antara yang komunis dan yang
sekedar mengeruk untung belaka.
Buku yang terbit dalam dua seri, Buku I dan II merupakan
kompilasi ulasan dalam blog dushmanduniyaka.wordpress.com. Banyak ulasan ala
penggemar film India itu menjadi promosi. Melalui Aku dan Film India Melawan
Dunia Mahfud seolah ingin mengatakan,
kalau suka menonton film India
ya suka saja, tidak usah malu dan merasa rendahan (inferior).
Pada akhirnya, buku Aku dan Film India Melawan Dunia
adalah sebuah upaya membela dan melawan bersama orang-orang yang tersingkirkan.
Comments
Post a Comment