Membendung Senjakala Cerita Rakyat



Judul                    :       Inventarisasi Cerita Rakyat Jombang 2
Penulis                 :       Tim PBSI Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng
Penerbit                :       Pustaka Tebuireng
TahunTerbit           :       Cet I, Mei 2019
Tebal                    :       xii + 270 halaman
ISBN                    :       978-602-8805-48-3

Dalam proses transmisi budaya, kapitalisme memungkinkan segala sesuatu terproduksi secara massal dan artifisial. Produksi massal membuat nilai (value) menjadi turun. Implikasinya, muncul keinginan kembali ke yang original (asli), yang natural bukan artifisial, bahkan yang masih memiliki nilai-nilai kearifan lokal.
Buku Inventarisasi Cerita Rakyat Jombang 2 sedikit banyak adalah bentuk implikasi itu. Buku tersebut berisi pencatatan dan dokumentasi tulis cerita rakyat yang masuk kategori sastra lisan. Sekelompok mahasiswa penulisnya punya misi menghadirkan kembali apa yang hampir sirna dari tradisi. Yaitu, cerita rakyat. Ceritanya dijemput dari cerita-cerita tutur yang sebelumnya hidup dalam ingatan orang-orang yang ada di dusun atau kampung. Biasanya disampaikan secara turun temurun melalui tutur (lisan). Bersifat anonim atau tidak dikenal dan tidak diketahui siapa pengarangnya. Dan berkembang dari mulut ke mulut.

Cerita rakyat banyak jenisnya. Ada mite, legenda, dongeng dan bentuk-bentuk lainnya. Ceritanya mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Seperti nilai-nilai luhur, pandangan hidup, mengedepankan keharmonisan antar sesama, dengan Tuhan, dan dengan alam semesta.  Misalnya saja, kisah asal-usul desa atau dusun. Maka tokoh pembabat desa  atau dusun akan menjalani lelaku bertapa (tirakatan). Hal ini demi terwujudnya harmoni atau keselarasan antara hajat manusia, penerimaan alam, dan kehendak Tuhan.

Sekarang ini cerita lisan atau sastra lisan terpinggirkan. Orang semakin enggan bersentuhan atau mempelajarinya. Padahal, dari cerita-tuturan tersebut bisa menjadi pintu masuk mendapatkan dan menggali nilai-nilai luhur tentang tata kelakukan, pandangan hidup, serta etika yang bersumber dari masa lalu. Maka sangat mungkin sekali jika peninggalan nenek moyang yang adi luhung itu akan punah.

Ditambah, teknologi Informasi yang hadir begitu masif dan sangat cepat. Informasi timbul tenggelam begitu saja. Beralih dari satu informasi ke informasi lain, tanpa sempat dihayati dan dicerna dengan baik. Alih-alih menganalisa benar-tidaknya informasi, malah seringkali terbawa pada penyebaran informasi yang tidak benar (hoax). Sehingga informasi silangsengkarut, berujung pada kegaduhan dan bukan keteduhan (harmoni). Di sinilah peran penting nilai-nilai budaya (sebagai local genious) sebagai penyeimbang akan hadirnya teknologi yang massif dan cepat tersebut.

Filolog Surya Suryadi menyebutkan bahwa cerita rakyat menjadi berharga di tengah hiruk-pikuk politik kebangsaan yang penuh silangsengkarut, bahkan memecah belah. Informasi politik yang banyak mengemuka akhir-akhir ini menjadi grandnarativessyang mendominasi masyarakat, bahkan yang tinggal di desa-desa yang sebenarnya jauh dari kepentingan kaum urban. Sedangkan smallnaratives semacam cerita rakyat tersebut yang dimiliki oleh orang-orang desa dengan narasi-narasi sederhananya terpinggirkan.

Di sinilah titik urgensi mendokumentasi-tuliskan cerita rakyat yang jumlahnya tak terbilang banyaknya, yang sangat mungkin punah atau hilang seiring dengan meninggalnya pemegang cerita tersebut. Cerita rakyat sendiri akan sangat bermanfaat dan berpengaruh pada pola pikir. Aprianus Salam menyebut bahwa cerita rakyat dan kisah-kisah di masa lalu bisa menjadi alat untuk memahami dan mempelajari cara berpikir suatu kelompok masyarakat tertentu.

Kontribusi Perguruan Tinggi
Buku Inventarisasi Cerita Rakyat Jombang 2 terdiri dari 81 cerita yang dibukukukan dalam satu judul.Ceritanya mulai dari toponim desa atau dusun, legenda, petilasan, dan kisah tentang benda-benda bersejarah. Informasinya terbatas. Satu cerita rata-rata menggunakan sumber tunggal. Padahal satu cerita rakyat bisa jadi memiliki banyak versi. Di dalamnya tidak ada ulasan membandingkan atau menyandingkan dari versi yang berbeda-beda tersebut.

Buku setebah 270 halaman itu disusun dan ditulis oleh Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Hasyim Asy’ari sebagai bagian dari tugas akhir perkuliahan.
Mendokumentasi-tuliskan cerita rakyat bukan kerja mudah. Karena harus menelusuri, merunut orang per orang yang masih mengetahui cerita rakyat tertentu. Mereka turun ke desa-desa, ke dusun-dusun untuk mendatangi para petani, ibu rumah tangga, pedagang, tetua dusun dan lainnya. Mereka menelusuri, mencari sampai menemukan pemegang cerita untuk selanjutnya didengarkan, dicatat, ditulis kembali dan dibukukan.

Karena itu, upaya menuliskan tradisi lisan itu patut diapresiasi sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Filolog Suryadi. Bahwa, pencatatan dan penulisan cerita rakyat tersebut mengingatkan pada naskah-naskah schoolschriften asal Minangkabau yang sekarang tersimpan di perpustakaan Universiteit Leiden, Belanda. Naskah-naskah itu merupakan sumbangan dari seorang sarjana Belanda yang pernah tinggal di Sumatra (Minangkabau), bernama PhS Van Ronkel.

Kebanyakan dari naskah tersebut adalah catatan-catatan berasal dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke 20, yang dibuat oleh murid-murid Kweekschool Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) sebagai salah satu tugas yang diwajibkan oleh gurunya. Murid-murid itu mencatat cerita-cerita rakyat, pantun kebiasaan tertentu yang ada di sebuah desa (Minangkabau disebut Nagari), bidal, mamangan dan lain sebagainya. Dan sekarang naskah-naskah tersebut menjadi sumber primer (bron) yang sangat bermanfaat bagi penulisan ilmiah tentang sejarah dan perkembangan bahasa, sastra dan kebudayaan Minangkabau (Inventarisasi Cerita Rakyat Jombang 1, hlm xi).
Begitu juga buku Inventarisasi Cerita Rakyat Jombang jilid pertama (2017) dan kedua (2019) bisa menjadi sumbangsih yang bermanfaat untuk masyarakat.

Comments