Juadah, Puspa Tajem, Cundrik, Sampai Daluwang*



Judul Novel     : Tembang Kala Ganjur
Penulis             : Agus Sulton
Penebit            : Pustaka Ilalang
Cetakan           : Februari 2018
Tebal               : iv + 208 hlm
ISBN               : 9786026715227

Memelihara local genius juga bisa melalui karya sastra novel. Banyak kearifan lokal yang mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman. Bahkan banjir informasi yang sekarang ini pun tidak mampu merawat ruh dan nilai-nilai yang tersertakan dalam local genius masyarakat. Sehingga meski informasi tentang kearifan lokal bisa dihadirkan, akan tetapi sudah terlepas dari ruhnya dan tidak menjadi lelaku hidup. Apalagi pada generasi muda, alih-alih terinternalisasi menjadi karakter diri, pengetahuan seputar itu saja sangat minim sekali. Jika sudah begini, kita sering kali rindu dengan ajaran-ajaran tradisional Jawa tempo dulu, seperti andhap ashor, tepo sliro, dan lain sebagainya.

Tradisi-tradisi yang sudah hampir hilang itulah yang coba dipotret oleh Agus Sulton lewat novel Tembang Kala Ganjur. Mengapa novel? Karena novel memiliki estetika bahasa, selain itu melalui narasi alur bisa membangun kedekatan emosional dengan pembaca, menggunakan pendekatan teks untuk memahami konteks. Dan pembaca bisa memahami tanpa merasa digurui.

Novel ini mengambil latar sejarah konflik Kerajaan atau Keprabon Telaga, yaitu kerajaan yang pernah ada di Kabupaten Majalengka yang letaknya tepat berada di kaki Gunung Ciremay sekitar 600 tahun yang lalu. Konflik cerita ditarik dari tragedi pembunuhan Raja Talamanggung yang dikenal dengan sebutan Darmasuci II. Pembunuhan tersebut merupakan siasat menantunya sendiri bernama Palembanggunung yang dinikahkan dengan putri Darmasuci II bernama Nyi Simbar Kentjana. Simbar Kentaja akhirnya balas dendam dan membunuh suaminya dengan tusuk kondenya. Tusuk konde bertuah yang hilang dan banyak diburu orang itulah yang kemudian menjadi tarikan kisah dalam novel setebal 208 halaman ini (hlm 28).

Novel Tembang Kala Ganjur juga kaya akan catatan tradisi-tradisi Jawa. Agus Sulton menyebut novel tersebut sebagai pencatat tradisi dan budaya warisan, khususnya Jawa. Misalnya, seperti makanan tradisional bernama Juadah, yaitu makanan khas yang rasanya gurih terbuat dari ketan dan kepala muda. Ada juga tentang mitos burung perkutut yang merupakan titisan dari seorang pangeran, putra salah seorang raja di Bali zaman kerajaan Majapahit yang melarikan diri sampai Blmbangan. Dan, jambul perkutut itu konon adalah mahkota sang raja.

Novel ini juga menjabarkan tentang cundrik. Cundrik adalah senjata kecil berbetuk keris, biasa dipakai oleh wanita sebagai senjata tikam. Cundrik sedikit berbeda dengan belati yang berupa pisau kecil bersarung seperti dipakai militer, bisa memiliki dua sisi tajam. Namun sama-sama senjata tikam. Berbeda pula dengan keris yang menjadi senjata tradisional nusantara.

Pada bagian lain bercerita tentang puspa tajem. Puspa tajem merupakan istilah untuk waktu mimpi. Dalam tradisi Jawa –setidaknya bagi beberapa orang, mimpi diyakini sebagai salah satu sumber kebenaran, bahkan sampai sekarang. Dalam tradisi Jawa ada ketentuan waktu untuk mengkategorikan apakah mimpi itu sebuah isyarat kebenaran dari masa depan semacam ramalan futuristik, atau sekedar bunga-bunga tidur.

Dalam novel Tembang Kala Ganjur ini disebutkan 3 kategori mimpi yang dikaitkan dengan kebenarannya. Titiyoni, yaitu mimpi diantara jam 21.00-24.00. Mimpi yang tidak bermakna. Mimpi ini ibarat kelanjutan dari aktivitas sehari hari yang berkelanjutan, atau terbawa dalam mimpi. Mimpi ini dianggap sebagai bunga tidur. Sedangkan yang kedua adalah gondoyoni, yaitu mimpi yang terjadi antara jam 24.00-02.00. Mimpi yang mendekati kebenaran, walaupun artinya yang akan terjadi dikenyataan adalah kebalikan dari mimpi tersebut. Dan mimpi yang sangat dipercaya bermakna adalah yang disebut puspa tajem. Mimpi yang terjadi antara pukul 02.00-04.00 ini dianggap merasuk antara alam sadar dan tak sadar (hlm 44).

Novel ini juga mengenalkan Daluwang. Daluwang adalah warisan budaya. Daluwang adalah kertas tradisional yang dibuat dari bahan serat kulit kayu Gelugu dengan cara ditumbuk. Dalam catatan Kamus Wikipedia, di Indonesia khususnya di Jawa pernah dikenal Daluwang yaitu kertas Jawa atau disebut Kertas Dluwang. Pada masa lalu, kertas dluwang atau daluwang digunakan sebagai media tulis menulis. Agus Sulton sendiri sekarang ini mengoleksi 70 naskah kuno yang beberapa diantaranya menggunakan kertas daluwang, dan beberapa lainnya menggunakan kertas Eropa berwatermark (https://www.jawapos.com/read/2017/06/27/140596/koleksi-naskah-kuno-milik-agus-sulton-peninggalan-berbagai-pesantren).

Novel dinikmati dari gaya bahasa dan alur ceritanya. Novel Tembang Kala Ganjur ini jauh dari gaya cerita khas novel kontemporer yang banyak digemari saat ini. Pun, mengangkat tema yang jauh dari selera pasar. Gaya penceritaan yang menggunakan alur maju dan diceritakan dengan bahasa lugas, membuat novel ini tidak mendayu-dayu. Akan tetapi novel ini sarat informasi, sehingga bisa dikatakan sebagai novel imajinasi yang informatif, khususnya informasi tentang tradisi Jawa. Sehingga bisa turut menjaga dan melestarikan local genius yang bersumber dari tradisi dan budaya Jawa.

Comments