Pondok Pesantren Riyadlul Banin Mojogeneng, Gedangan, Mojowarno Jombang dulu menjadi tempat santri belajar. Sudah banyak santri yang lulus mempelajari kitab kuning, lantas mempraktikkannya baik dalam keseharian atau diajarkan pada masyarakat. Sayangnya, ketika Ustadz Dlomirin, pengasuh pesantren tersebut berpulang ke Rahmatullah, Riyadlul Banin berangsur-angsur ditinggalkan santrinya. Saat ini (2017) bersisa 5 orang santri kalong saja, itu pun hanya belajar mengaji Al-Qur’an.
Jombang - Ketika memasuki Dusun Mojogeneng Desa Gedangan
Mojowarno Jombang kita tidak akan tahu kalau dulu ada sebuah pesantren, tempat
santri belajar Al-Qur’an dan kitab kuning. Bahkan ketika sampai di rumah
pengasuh pesantren tersebut kita hanya menjumpai bangunan rumah sebagaimana
hunian lain yang ada di dusun itu. Akan tetapi, ketika masuk lebih dalam, maka
akan terlihat sebuah pesantian yang diberi nama Pondok Pesantren Riyadlul
Banin.
Pondok tersebut tidak cukup
luas, hanya sekitar 3 x 6 meter persegi. Ketika memasukinya harus menaiki 4
anak tangga. Sebab, pondok tersebut berbentuk panggrok atau panggung.
Bangunannya khas dan klasik. Berdinding gedek, berlantai dan berpagar bambu. Di
dalamnya hanya ada satu bilik saja yang digunakan untuk sholat berjamaah dan
mengaji. Ada dua rak yang digantung sebagai tempat Al-Qur’an dan kitab. Selain
itu, sebuah mikrofon disediakan sebagai pengeras ketika mengaji.
Pondok Pesantren Riyadlul
Banin didirikan 15 tahun lalu, sekitar tahun 2002, usai ustadz Dlomirin muda
merampungkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo selama 7 tahun.
Sebelumnya, ia nyantri di Pesantren Tebuireng selama 6 tahun.
Hj. Mahsunah, ibunda Ustadz
Dlomirin menuturkan, dulu putranya itu pamit untuk menghafal kitab Alfiyah ke
Pesantren Lirboyo agar bisa diajarkan. Dan sepanjang nyantri, Ustadz Dlomirin
muda kerap riyadlah mulai dari berjalan kaki ketika awal berangkat nyantri ke
Pesantren Lirboyo, hingga tidak makan nasi, akan tetapi makan jagung.
Ustadz Dhomirin termasuk
pribadi yang sederhana. Menurut penuturan Hj Mahsunah, salah satu wujud
kesederhanaannya adalah bangunan pondok pesantren yang berdinding gedhek, yang
sekalipun tidak direnovasi menjadi gedhong. “Saya pernah menawarkan untuk
direnovasi dan ditembok, dia (Ustadz Dlomirin, red) tetap tidak mau. Masjid
saja sudah banyak digedhong, masak pondoknya tetap gedhek. Bahkan, sampai ia
wafat, ada santrinya yang diimpeni (dapat mimpi) agar bangunannya tetap
dibiarkan seperti sedia kala,” kenang wanita 75 tahun itu. Alhasil, bangunan
pondok tetap berdinding sesek dan berlantai pring.
Untuk itu, pondok tersebut
hanya diperkokoh saja dengan mengganti pondasinya menggunakan lumpang. “Warga
dengan sukarela menyerahkan lumpang sebagai pondasi atau kaki penyangga, agar
bisa kokoh berdiri dan tidak ambruk ketika santri naik-turun pondok,” ungkap
wanita tamatan Madrasah Muallimat Cukir tersebut.
Di awal, Pondok Pesantren
Riyadhul Banin mendidik sampai 40 santri putra dan putri. Santri-santri
tersebut berasal dari desa sekitar, seperti Menganto, Gedangan, Berjo, Gondek
dan beberapa desa lain. Santri putri tidur di rumah pengasuh, sedangkan santri
putra di pondok panggung tersebut. Pengajian kitab dilaksanakan secara sorogan
dan bandongan setiap bakda subuh dan maghrib. Diantara mereka ada yang sampai
mumpuni membaca kitab kuning untuk diajarkan.
Sayangnya, Ustadz Dlomirin
tidak berusia panjang. Ia berpulang ke Rahmatullah dikarenakan sakit dengan
meninggalkan seorang istri dan seorang putra. Usai kepergian Ustadz Dhomirin,
Pondok Pesantren Riyadlul Banin sempat vakum tanpa satu pun aktivitas
pengajian. Hingga akhirnya perawatan dan pengajian diteruskan oleh kakak
iparnya, dengan mengajar ngaji Al-Qur’an.
“Tidak ada yang bisa
meneruskan. Kitab-kitabnya (Ustadz Dlomirin, red) tersimpan di kamarnya, masih
rapi. Sekarang santrinya ada 5, hanya mengaji Al-Qur’an dan istiqomah rutin
jamaah maghrib,” tuturnya
Menurut Hj. Mahsunah,
sekarang ini tidak mudah mengajak anak muda untuk belajar agama. Alih-alih
kitab kuning, istiqomah membaca Al-Qur’an saja juga sudah sangat jarang. “Anak
zaman sekarang susah. Pamitnya ngaji, tapi mampirnya ke tempat lain. Ya, ada 5
santri kalong saja sekarang ini. Semoga walaupun santrinya sedikit bisa menjadi
jariyah,” ungkapnya.
Meski tidak mendapat
dukungan dari manapun, Hj. Mahsunah dan menantunya bertekad untuk merawat dan
tetap membuka pengajian Al-Qur’an bagi siapa saja yang ingin mengaji di pondok
Riyadhul Banin tersebut. (Robiah)
Comments
Post a Comment