Pertimbangkanlah kembali
ketika mulai memberi kebebasan pada anak-anak untuk mengakses internet dengan
mudah melalui ponsel cerdas. Sebab, sudah banyak penelitian menunjukkan bahwa
gadget tersebut memiliki sifat addict atau candu. Ponsel pintar (smartphone)
menciptakan sebuah ketergantungan, bahkan jika tidak dikendalikan bisa sampai
tingkat kecanduan parah.
Hal ini karena gadget mulai
dari TV, komputer, smartphone sampai tablet memberikan kemudahan-kemudahan.
Hanya dengan remote control bisa memindah channel televisi tanpa harus
menggeser posisi tubuh. Atau cukup dengan klik bisa memberikan apa saja yang
ingin dilihat dan didengar lewat ponsel pintar.
Apalagi sekarang ini tidak
sedikit orang tua yang menjadikan gadget (smartphone) sebagai “pengasuh” anak
di tengah kesibukan mereka.
![]() |
sumber: techomag.com |
Konversasi Ponsel Pintar
Bisa dikatakan bahwa manusia
modern adalah manusia berteknologi. Dan smartphone berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi. Sugihartati dalam buku
Perkembangan Masyarakat Informasi &Teori Sosial Kontemporer pernah
menyebutkan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi selanjutnya
memasuki teknologi Information Superhighway, yaitu infrastruktur telekomunikasi
baru yang didasarkan pada penggabungan teknologi yang terpisah-pisah, seperti
telepon, faksimile, komputer, komunikasi kabel, dan satelit yang menciptakan
lalu lintas berkecepatan tinggi.
Dengan penggabungan
teknologi tersebut memberi banyak kemudahan bahkan memperkenalkan banyak
hal-hal baru dalam kehidupan. Smartphone dengan kecanggihannya tentu saja
memiliki karakteristik tersendiri. Ada bentuk konversasi yang kemudian
menentukan bentuk konten yang disampaikan melalui media tersebut. Misalnya,
buku lebih mampu memaparkan suatu topik lebih mendalam dari pada televisi.
Sementara, pesan radio lebih sederhana dan sekilas dibandingkan televisi.
Bentuk konversasi tersebut
pula pada akhirnya akan mempengaruhi cara orang berpikir, berperilaku dan
berkomunikasi sehari-hari. Memang, gadget (smartphone) menawarkan banyak
kelebihan. Yang paling menonjol adalah smartphone memberi kemudahan-kemudahan
bagi penggunanya. Sistem klik bisa membuka informasi, gambar, dan suara yang
diinginkan. Ponsel pintar meminta perhatian dan memberikan informasi yang jauh
dari dunia nyata, yang hanya berupa tiruan-tiruan dari realita. Selain itu,
cara kerjanya bisa sekaligus (multitasking) membuat pengguna begitu mudah
beralih dari satu konten ke konten yang lain atau bahkan mengaksesnya secara
bersamaan. Dengan sifat dan karakteristiknya, sehingga gadget begitu menarik
dan menjadi pilihan bagi banyak orang, termasuk anak-anak.
Sekarang ini banyak orang
tua memberi anak-anak mereka smartphone sebagai teman bermain. Akan tetapi,
alangkah baiknya kita mulai melihat dan mewaspadai dampaknya, yang mungkin
tidak terlihat di awal, akan tetapi di kemudian hari bisa membentuk karakter
tertentu pada anak-anak kita. Orang tua perlu menyadari bahwa komunikasi dua
arah antara orang tua dan anak sangatlah penting bagi tumbuh kembang anak.
Misalnya, dengan mendengarkan cerita anak. Sebab, ada beberapa manfaat
pentingnya mendengarkan cerita anak. Seperti yang disebutkan dalam laman
Sahabat Keluarga, manfaatnya: bercerira melatih anak untuk terbuka, menaikkan
percaya diri anak, dan melatih kemampuan bicara anak.
Yee-Jin Shin, seorang
Psikiater dan Praktisi Pendidikan Anak di Korea yang banyak membantu
kasus-kasus ketergantungan smartphone pernah mengatakan, dibandingkan dengan
anak-anak dulu, anak-anak sekarang lebih cepat tumbuh besar, akan tetapi jiwa
mereka lambat berkembang. Ini karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu
dengan gadget. Perangkat digital tersebut sepertinya telah menjadi penyebab
utama anak-anak “matang semu”. Ini menunjukkan bahwa dari segala kemudahan dan
kelebihan gadget membawa dampak yang perlu diwaspadai. Jika tidak dilakukan
pendampingan yang tepat pada anak, gadget akan menjadi candu yang berbahaya
bagi anak.
Matang semu pada anak
Anak-anak “matang semu”
adalah anak-anak yang “diasuh” oleh gadget. Mereka adalah anak-anak yang
fisiknya berkembang sangat baik, tetapi jiwanya tidak.
Menurut Yee-Jin Shin,
anak-anak “matang semu” terbentuk dari perlawanannya terhadap perkembangan,
menjauhi permainan, tidak diperhatikan oleh orang tua selama masa
perkembangannya, dan juga tidak diajari cara mengontrol emosi. Dan salah satu
faktor yang dicurigai mengganggu perkembangan alamiah anak, yaitu perangkat
digital. Perangkat tersebut terdapat dalam berbagai jenis, misalnya TV
(termasuk video), komputer, onsel pintar, dan komputer tablet.
Perangkat digital memiliki
pengaruh yang signifikan membuat anak menjadi “matang semu”. Salah satunya
karena kemudahan dalam mengakses perangkat digital. Cukup dengan klik,
menyentuh layar sudah bisa menampilkan film kartun kegemaran, aneka gambaran
permaian (game) dan lain sebagainya. Dan anak-anak tidak memerlukan usaha keras
untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari ponsel pintar. Sebuah pengalaman
virtual baru yang menakjubkan, yang seolah-olah serupa dengan pengalaman nyata.
Pengalaman yang seolah-olah nyata (benar-benar tidak nyata) itulah yang
berpotensi membuat anak menjadi “matang semu”. Pengalaman virtual dalam ponsel
pintar juga sangat bombastis, menakjubkan, dan menghadirkan pengalaman baru
yang jauh dari kenyataan. Sifat gadget (smartphone) yang demikian itu bisa
membentuk anak-anak gadget akan menjadi pribadi yang impulsif, emosional, dan
tidak tertarik dengan permainan di dunia nyata. Mengapa demikian? Hal ini
karena apa yang dijumpai di dunia nyata, seperti permainan anak, tidak cukup
kuat menarik perhatiannya. Permainan semacam itu terasa biasa-biasa saja dan
kurang mengesankan sebagaimana yang dihadirkan oleh ponsel pintar.
Situasi semacam itu, menurut
Yee-Jin Shin, adanya gejala popcorn brain. Popcorn brain berpotensi dialami
anak-anak yang kecanduan gadget. Menurutnya, popcorn brain adalah istilah yang
digunakan untuk menyebutkan kondisi otak anak yang terbiasa dengan layar
perangkat digital yang senantiasa merespon stimulus kuat hingga otak seperti
meletup-meletup. Sehingga dengan kondisi ini, otak anak memerlukan stimulus
yang teramat kuat karena sudah terbiasa dengan gambaran stimulus yang
ditampilkan oleh ponsel pintar. Dan jika ini terus dibiarkan, anak akan menjadi
impulsif, membutuhkan rangsangan kuat, hingga membuat aksi-aksi brutal dalam
keseharian, menurunkan daya konsentrasi dan daya ingat.
Popcorn brain membuat anak
merespon biasa pada dunia sekitar. Otak anak membutuhkan stimulus yang kuat
sehingga bisa terrespon. Anak hanya akan mencari hal yang mengesankan saja.
Dengan perilaku semacam ini anak akan kehilangan proses interaksi dengan sesamanya
di dunia nyata yang sangat bermanfaat dalam proses pembentukan mental, dan juga
mendukung proses tumbuh kembangnya.
Belum lagi
kemudahan-kemudahan yang menjadi landasan kerja dari ponsel pintar membuat anak
merasa mudah mendapatkan apa yang dia inginkan dari ponsel pintar tanpa
memerlukan usaha keras. Ketika dihadapkan pada kenyataan, anak akan cenderung
menginginkan semua serba cepat didapatkan tidak terbiasa dengan proses.
Sehingga, bisa juga sangat mudah cepat “putus asa dan rapuh” ketika tidak mendapatkan
sesuai harapan dengan cepat. Sebab, anak sudah terbiasa mendapatkan keinginnya
persecond atau perdetik, tanpa melalui tahapan-tahapan yang sulit.
Pentingnya Digital Parenting
Akan teramat susah dan
kwalahan ketika kita mulai melakukan pendampingan melalui digital parenting
ketika anak-anak sudah kecanduan ponsel pintar. Sebab, jika kita larang anak
akan melawan. Oleh karena itu digital parenting harus dilakukan sejak dini.
Bahkan orang tua perlu menyadari tentang pentingnya digital parenting ketika
anak masih usia balita.
Istilah Digital Parenting
disebutkan oleh Yee-Jin Shin dari banyak pengamatan dan analisa yang dia
lakukan ketika menangani anak-anak kecanduan smartphone di Korea. Digital
parenting adalah proses pembelajaran pengasuhan interaksi antara orang tua dan
anak terkait dengan penggunaan perangkat digital. Ada beberapa langkah dan cara
yang setidaknya bisa dilakukan oleh orang tua, dalam rangka mendampingi anak
dalam “mengkonsumsi” smartphone dan gadged lainnya. Maka tidak ada salahnya
jika kita meminjam 7 prinsip digital parenting yang disebutkan oleh Yee Shin
Jin melalui buku Mendidik Anak di Era Digital:
Pertama, yang terpenting
bukan apa jenisnya, melainkan kapan perlu memberikannya. Bukan masalah jenis
smartphone atau gadget apa yang akan diberikan pada anak, akan tetapi yang jauh
lebih penting adalah pada usia berapa anak-anak bisa menggunakan smartphone.
Shin menyebutkan, saat yang pas memberikan ponsel pintar adalah ketika anak
memiliki kematangan jiwa. Misal, ketika anak sudah siap mematuhi peraturan.
Anak sudah bisa beradaptasi, anak bisa mengendalikan emosi.
Kedua, kualitas lebih
penting daripada kuantitas. Shin menyarankan, daripada memberikannya selama
satu jam setelah mengerjakan PR, lebih baik memberikannya secara akumulatif
ketika akhir pekan, seminggu sekali. Karena setiap jam dalam sehari lebih
berpotensi membuat anak kecanduan secara perlahan-lahan. Dan lebih dari itu
yang penting adalah kualitas atau apa yang diakses dari pada seberapa lama dia
menggunakan ponsel pintar tersebut.
Ketiga, Tentukan sanksi
ketika anak melanggar janjinya. Ketika anak tidak mematuhi aturan dalam
penggunaan smartphone, anak mendapatkan sanki. Dan sebaiknya membuat
kesepakatan dengan anak terlebih dahulu tentang sanksinya sebelum mulai menerapkan
aturan tersebut.
Keempat, Jelaskan alasan
ditetapkan peraturan tersebut. alasan tersebut sebagai bentuk komunikasi dan
saling memahami. Sehingga anak tidak merasa dibawah tekanan peraturan, tetapi
muncul kesadaran dalam penggunaan smartphone tersebut.
Kelima, Berbagilah
pengalaman tentang perangkat digital dengan anak. Ada baiknya mengobrolkan
dengan anak tentang konten atau misalnya game yang sedang dia mainkan. Shin
menyarankan agar orang tua menunjukkan minat terhadap game tersebut sehingga
anak bisa terbuka berbagi dengannya.
Keenam, Libatkan seluruh
anggota keluarga. Dalam proses menerapkan aturan, juga berlakukan pada setiap
anggota keluarga yanga ada di rumah. Sehingga peraturan itu tidak hanya diterapkan
pada anak tetapi juga pada orang tua.
Ketujuh, Mintalah bantuan
psikiater jika orang tua tidak bisa mengatasinya. Jika kemudian ada persoalan
atau gejala yang dijumpai orang tua, seperti tindakan destruktif karena
kecanduan smartphone, orang tua tidak perlu segan-segan untuk berkonsultasi
dengan psikiater untuk menangani kecanduan anak pada smartphone.
Itu beberapa prinsip yang diterapkan oleh
Yee-Jin Shin, seorang psikiater dan pakar pendidikan anak di Korea yang tidak
ada salahnya bisa kita terapkan untuk melakukan digital parenting pada
anak-anak kita. Sebab, daripada kita menghindar dari gadget yang bisa jadi
usaha sia-sia, sebab gadget sudah menjadi bagian dari kehidupan modern ini,
alangkah baiknya kita menerapkan cara-cara baru yang bisa mendampingi anak
dalam mengambil manfaat gadget dan meminimalisir dampak negatifnya. Semoga
bermanfaat! Salam!
Comments
Post a Comment