Pentingnya Digital Parenting Untuk Anak di Era Informasi

Pertimbangkanlah kembali ketika mulai memberi kebebasan pada anak-anak untuk mengakses internet dengan mudah melalui ponsel cerdas. Sebab, sudah banyak penelitian menunjukkan bahwa gadget tersebut memiliki sifat addict atau candu. Ponsel pintar (smartphone) menciptakan sebuah ketergantungan, bahkan jika tidak dikendalikan bisa sampai tingkat kecanduan parah.

Hal ini karena gadget mulai dari TV, komputer, smartphone sampai tablet memberikan kemudahan-kemudahan. Hanya dengan remote control bisa memindah channel televisi tanpa harus menggeser posisi tubuh. Atau cukup dengan klik bisa memberikan apa saja yang ingin dilihat dan didengar lewat ponsel pintar.

Apalagi sekarang ini tidak sedikit orang tua yang menjadikan gadget (smartphone) sebagai “pengasuh” anak di tengah kesibukan mereka.

sumber: techomag.com
Ada baiknya kita mengingat kembali pesan seorang pakar komunikasi, Marshall McLuhan yang mengatakan bahwa media is the message, bahwa ketika kita fokus pada kritik berbagai ancaman konten-konten negatif yang ada di smartphone tersebut, ada hal lain yang juga tidak kalah penting untuk diwaspadai, yaitu media itu sendiri atau smartphone itu sendiri. Gadget (smartphone) adalah sebentuk media penyampai pesan atau konten yang memiliki cara konversasi sendiri. Dan setiap media menentukan bentuk konversasi (cara pesan itu disampaikan).

Konversasi Ponsel Pintar
Bisa dikatakan bahwa manusia modern adalah manusia berteknologi. Dan smartphone berkembang seiring dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi. Sugihartati dalam buku Perkembangan Masyarakat Informasi &Teori Sosial Kontemporer pernah menyebutkan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi selanjutnya memasuki teknologi Information Superhighway, yaitu infrastruktur telekomunikasi baru yang didasarkan pada penggabungan teknologi yang terpisah-pisah, seperti telepon, faksimile, komputer, komunikasi kabel, dan satelit yang menciptakan lalu lintas berkecepatan tinggi.

Dengan penggabungan teknologi tersebut memberi banyak kemudahan bahkan memperkenalkan banyak hal-hal baru dalam kehidupan. Smartphone dengan kecanggihannya tentu saja memiliki karakteristik tersendiri. Ada bentuk konversasi yang kemudian menentukan bentuk konten yang disampaikan melalui media tersebut. Misalnya, buku lebih mampu memaparkan suatu topik lebih mendalam dari pada televisi. Sementara, pesan radio lebih sederhana dan sekilas dibandingkan televisi.

Bentuk konversasi tersebut pula pada akhirnya akan mempengaruhi cara orang berpikir, berperilaku dan berkomunikasi sehari-hari. Memang, gadget (smartphone) menawarkan banyak kelebihan. Yang paling menonjol adalah smartphone memberi kemudahan-kemudahan bagi penggunanya. Sistem klik bisa membuka informasi, gambar, dan suara yang diinginkan. Ponsel pintar meminta perhatian dan memberikan informasi yang jauh dari dunia nyata, yang hanya berupa tiruan-tiruan dari realita. Selain itu, cara kerjanya bisa sekaligus (multitasking) membuat pengguna begitu mudah beralih dari satu konten ke konten yang lain atau bahkan mengaksesnya secara bersamaan. Dengan sifat dan karakteristiknya, sehingga gadget begitu menarik dan menjadi pilihan bagi banyak orang, termasuk anak-anak.

Sekarang ini banyak orang tua memberi anak-anak mereka smartphone sebagai teman bermain. Akan tetapi, alangkah baiknya kita mulai melihat dan mewaspadai dampaknya, yang mungkin tidak terlihat di awal, akan tetapi di kemudian hari bisa membentuk karakter tertentu pada anak-anak kita. Orang tua perlu menyadari bahwa komunikasi dua arah antara orang tua dan anak sangatlah penting bagi tumbuh kembang anak. Misalnya, dengan mendengarkan cerita anak. Sebab, ada beberapa manfaat pentingnya mendengarkan cerita anak. Seperti yang disebutkan dalam laman Sahabat Keluarga, manfaatnya: bercerira melatih anak untuk terbuka, menaikkan percaya diri anak, dan melatih kemampuan bicara anak.

Yee-Jin Shin, seorang Psikiater dan Praktisi Pendidikan Anak di Korea yang banyak membantu kasus-kasus ketergantungan smartphone pernah mengatakan, dibandingkan dengan anak-anak dulu, anak-anak sekarang lebih cepat tumbuh besar, akan tetapi jiwa mereka lambat berkembang. Ini karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget. Perangkat digital tersebut sepertinya telah menjadi penyebab utama anak-anak “matang semu”. Ini menunjukkan bahwa dari segala kemudahan dan kelebihan gadget membawa dampak yang perlu diwaspadai. Jika tidak dilakukan pendampingan yang tepat pada anak, gadget akan menjadi candu yang berbahaya bagi anak.

Matang semu pada anak
Anak-anak “matang semu” adalah anak-anak yang “diasuh” oleh gadget. Mereka adalah anak-anak yang fisiknya berkembang sangat baik, tetapi jiwanya tidak.

Menurut Yee-Jin Shin, anak-anak “matang semu” terbentuk dari perlawanannya terhadap perkembangan, menjauhi permainan, tidak diperhatikan oleh orang tua selama masa perkembangannya, dan juga tidak diajari cara mengontrol emosi. Dan salah satu faktor yang dicurigai mengganggu perkembangan alamiah anak, yaitu perangkat digital. Perangkat tersebut terdapat dalam berbagai jenis, misalnya TV (termasuk video), komputer, onsel pintar, dan komputer tablet.

Perangkat digital memiliki pengaruh yang signifikan membuat anak menjadi “matang semu”. Salah satunya karena kemudahan dalam mengakses perangkat digital. Cukup dengan klik, menyentuh layar sudah bisa menampilkan film kartun kegemaran, aneka gambaran permaian (game) dan lain sebagainya. Dan anak-anak tidak memerlukan usaha keras untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari ponsel pintar. Sebuah pengalaman virtual baru yang menakjubkan, yang seolah-olah serupa dengan pengalaman nyata. Pengalaman yang seolah-olah nyata (benar-benar tidak nyata) itulah yang berpotensi membuat anak menjadi “matang semu”. Pengalaman virtual dalam ponsel pintar juga sangat bombastis, menakjubkan, dan menghadirkan pengalaman baru yang jauh dari kenyataan. Sifat gadget (smartphone) yang demikian itu bisa membentuk anak-anak gadget akan menjadi pribadi yang impulsif, emosional, dan tidak tertarik dengan permainan di dunia nyata. Mengapa demikian? Hal ini karena apa yang dijumpai di dunia nyata, seperti permainan anak, tidak cukup kuat menarik perhatiannya. Permainan semacam itu terasa biasa-biasa saja dan kurang mengesankan sebagaimana yang dihadirkan oleh ponsel pintar.

Situasi semacam itu, menurut Yee-Jin Shin, adanya gejala popcorn brain. Popcorn brain berpotensi dialami anak-anak yang kecanduan gadget. Menurutnya, popcorn brain adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan kondisi otak anak yang terbiasa dengan layar perangkat digital yang senantiasa merespon stimulus kuat hingga otak seperti meletup-meletup. Sehingga dengan kondisi ini, otak anak memerlukan stimulus yang teramat kuat karena sudah terbiasa dengan gambaran stimulus yang ditampilkan oleh ponsel pintar. Dan jika ini terus dibiarkan, anak akan menjadi impulsif, membutuhkan rangsangan kuat, hingga membuat aksi-aksi brutal dalam keseharian, menurunkan daya konsentrasi dan daya ingat.

Popcorn brain membuat anak merespon biasa pada dunia sekitar. Otak anak membutuhkan stimulus yang kuat sehingga bisa terrespon. Anak hanya akan mencari hal yang mengesankan saja. Dengan perilaku semacam ini anak akan kehilangan proses interaksi dengan sesamanya di dunia nyata yang sangat bermanfaat dalam proses pembentukan mental, dan juga mendukung proses tumbuh kembangnya.

Belum lagi kemudahan-kemudahan yang menjadi landasan kerja dari ponsel pintar membuat anak merasa mudah mendapatkan apa yang dia inginkan dari ponsel pintar tanpa memerlukan usaha keras. Ketika dihadapkan pada kenyataan, anak akan cenderung menginginkan semua serba cepat didapatkan tidak terbiasa dengan proses. Sehingga, bisa juga sangat mudah cepat “putus asa dan rapuh” ketika tidak mendapatkan sesuai harapan dengan cepat. Sebab, anak sudah terbiasa mendapatkan keinginnya persecond atau perdetik, tanpa melalui tahapan-tahapan yang sulit.

Pentingnya Digital Parenting
Akan teramat susah dan kwalahan ketika kita mulai melakukan pendampingan melalui digital parenting ketika anak-anak sudah kecanduan ponsel pintar. Sebab, jika kita larang anak akan melawan. Oleh karena itu digital parenting harus dilakukan sejak dini. Bahkan orang tua perlu menyadari tentang pentingnya digital parenting ketika anak masih usia balita.

Istilah Digital Parenting disebutkan oleh Yee-Jin Shin dari banyak pengamatan dan analisa yang dia lakukan ketika menangani anak-anak kecanduan smartphone di Korea. Digital parenting adalah proses pembelajaran pengasuhan interaksi antara orang tua dan anak terkait dengan penggunaan perangkat digital. Ada beberapa langkah dan cara yang setidaknya bisa dilakukan oleh orang tua, dalam rangka mendampingi anak dalam “mengkonsumsi” smartphone dan gadged lainnya. Maka tidak ada salahnya jika kita meminjam 7 prinsip digital parenting yang disebutkan oleh Yee Shin Jin melalui buku Mendidik Anak di Era Digital:

Pertama, yang terpenting bukan apa jenisnya, melainkan kapan perlu memberikannya. Bukan masalah jenis smartphone atau gadget apa yang akan diberikan pada anak, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah pada usia berapa anak-anak bisa menggunakan smartphone. Shin menyebutkan, saat yang pas memberikan ponsel pintar adalah ketika anak memiliki kematangan jiwa. Misal, ketika anak sudah siap mematuhi peraturan. Anak sudah bisa beradaptasi, anak bisa mengendalikan emosi.

Kedua, kualitas lebih penting daripada kuantitas. Shin menyarankan, daripada memberikannya selama satu jam setelah mengerjakan PR, lebih baik memberikannya secara akumulatif ketika akhir pekan, seminggu sekali. Karena setiap jam dalam sehari lebih berpotensi membuat anak kecanduan secara perlahan-lahan. Dan lebih dari itu yang penting adalah kualitas atau apa yang diakses dari pada seberapa lama dia menggunakan ponsel pintar tersebut.

Ketiga, Tentukan sanksi ketika anak melanggar janjinya. Ketika anak tidak mematuhi aturan dalam penggunaan smartphone, anak mendapatkan sanki. Dan sebaiknya membuat kesepakatan dengan anak terlebih dahulu tentang sanksinya sebelum mulai menerapkan aturan tersebut.

Keempat, Jelaskan alasan ditetapkan peraturan tersebut. alasan tersebut sebagai bentuk komunikasi dan saling memahami. Sehingga anak tidak merasa dibawah tekanan peraturan, tetapi muncul kesadaran dalam penggunaan smartphone tersebut.
Kelima, Berbagilah pengalaman tentang perangkat digital dengan anak. Ada baiknya mengobrolkan dengan anak tentang konten atau misalnya game yang sedang dia mainkan. Shin menyarankan agar orang tua menunjukkan minat terhadap game tersebut sehingga anak bisa terbuka berbagi dengannya.

Keenam, Libatkan seluruh anggota keluarga. Dalam proses menerapkan aturan, juga berlakukan pada setiap anggota keluarga yanga ada di rumah. Sehingga peraturan itu tidak hanya diterapkan pada anak tetapi juga pada orang tua.

Ketujuh, Mintalah bantuan psikiater jika orang tua tidak bisa mengatasinya. Jika kemudian ada persoalan atau gejala yang dijumpai orang tua, seperti tindakan destruktif karena kecanduan smartphone, orang tua tidak perlu segan-segan untuk berkonsultasi dengan psikiater untuk menangani kecanduan anak pada smartphone.

Itu beberapa prinsip yang diterapkan oleh Yee-Jin Shin, seorang psikiater dan pakar pendidikan anak di Korea yang tidak ada salahnya bisa kita terapkan untuk melakukan digital parenting pada anak-anak kita. Sebab, daripada kita menghindar dari gadget yang bisa jadi usaha sia-sia, sebab gadget sudah menjadi bagian dari kehidupan modern ini, alangkah baiknya kita menerapkan cara-cara baru yang bisa mendampingi anak dalam mengambil manfaat gadget dan meminimalisir dampak negatifnya. Semoga bermanfaat! Salam!

Comments